nikmatny menuntut ilmu
Diantara sekian banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi datangnya nikmat-nikmat yang lain, yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang akan dapat memahami berbagai hal dan karena ilmu juga, seseorang akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, juga di kalangan manusia. Terutama jika disertai dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Baik dia seorang budak atau orang merdeka; seorang bawahan atau atasan; seorang rakyat jelata ataupun para raja. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
Diantara sekian banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi datangnya nikmat-nikmat yang lain, yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang akan dapat memahami berbagai hal dan karena ilmu juga, seseorang akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, juga di kalangan manusia. Terutama jika disertai dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Baik dia seorang budak atau orang merdeka; seorang bawahan atau atasan; seorang rakyat jelata ataupun para raja. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا
إِذَاقِيْـلَ لَكُمْ تَفَـسَّحُوْافِيْ الْمَجَلِسِ فَافْـسَحُوا يَفْـسَحِ اللهُ
لَكُمْۖ وَإِذَا قِيْـلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ
ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ وَاللهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبْيْرٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kalian, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’
maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al-Mujadilah:
11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا
الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
.
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum
dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]
Dalil di atas dengan menegaskan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkannya
maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan
derajatnya di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla menolak persamaan antara orang-orang yang
memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Sebagaimana Dia
menolak persamaan antara para penghuni Surga dengan para penghuni Neraka. Allah
berfirman,
قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ
يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُونَۗ …
Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)
Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada hakikatnya
mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang yang tidak
berilmu tidak akan pernah setara kedudukannya. Yang dapat memahami maksud
tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai ilmu,
kedudukan dan keutamannya. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462) dan Syarah
Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/284)]
Sementara itu, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan,
لاَيَسْتَوِى أَصْحَبُ النَّارِ
وَأَصْحَبُ الْجَنَّةِۗ …
Artinya: “Tidak sama (antara) para penghuni Neraka dengan para penghuni
Surga…” (Qs. Al-Hasyr: 20)
Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan orang yang
berilmu. Bahkan, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan
hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan
buruan anjing yang tidak terlatih. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَسْـئَلُوْنَكَ مَاذَآ أُحِـلَّ
لَهُمْۗ قُلْ أَحِـلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَتُ وَمَاعَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ
مُكَلِّبِيْنَ تُعَـلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَـكُلُوْا مِمَّآ
أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوااسْمَ اللهِ عَلَيْهِۖ وَاتَّقُوااللهَۗ إِنَّ
اللهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang
ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk
berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka
makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas
binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.’”(Qs. Al-Ma’idah: 4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu dan
diberi kedudukan yang berbeda dengan binatang yang tidak berilmu. Seandainya
bukan karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan
tidak terlatih statusnya sama, yakni haram hukumnya untuk dikonsumsi. Akan
tetapi, hewan yang ditangkap anjing pemburu statusnya halal, tidak sebagaimana
hasil buruan anjing liar.
Jika kedudukan binatang saja bisa mengalami kenaikan karena ilmu, bagaimana
halnya dengan kedudukan seorang manusia yang jelas-jelas kedudukannya lebih
tinggi dan lebih mulia dari pada binatang?
Pada kesempatan kali ini, dengan memohon taufik kepada Allah Jalla
Dzikruhu,penulis akan menghadirkan pembahasan mengenai nikmat dan keutamaan
para pemilik ilmu beserta dengan hukum dan macam-macam ilmu dalam tinjauan
syari’at.
DEFINISI ILMU DAN TINGKATANNYA
Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan pengetahuan yang
sebenarnya. [Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18), Syarh Ushul
min ‘Ilmil Ushul (hal. 75), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 24), dan Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16)]
Ilmu pada hakikatnya terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu dharuri, adalah pengetahuan tentang suatu hal tanpa
memerlukan penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil (keterangan). Contohnya:
pengetahuan bahwa api itu panas.
2. Ilmu nazhari, adalah pengetahuan tentang suatu hal yang didahului
oleh penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil. Contohnya: pengetahuan
tentang tata cara wudhu dan shalat.
Adapun tingkatan ilmu yang dimiliki oleh seseorang terbagi dalam enam
tingkatan, yaitu:
1. Al-‘Ilmu, maksudnya adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan kenyataan
yang sebenarnya.
2. Al-Jahlul Basith, maksudnya adalah tidak memiliki pengetahuan tentang
sesuatu hal tertentu, sama sekali.
3. Al-Jahlul Murakkab, maksudnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal
tertentu, namun dia mengaku memiliki pengetahuan tentang itu, padahal keliru
dan tidak sesuai dengan realita. Disebut murakkab yang artinya
bertingkat, karena terdapat dua kebodohan sekaligus pada orang tersebut, yaitu
bodoh karena dia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena dia
beranggapan bahwa dia mengetahui yang sebenarnya, padahal dia tidak mengetahui.
4. Azh-Zhann, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar
dari pada salahnya. Kata yang mirip dalam bahasa kita adalah dugaan kuat.
5. Al-Wahm, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan salahnya lebih besar
dari pada benarnya. Atau mirip dengan dugaan lemah atau salah paham.
6. Asy-Syakk, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar dan salahnya
seimbang.
[Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18-19), Syarh Ushul min
‘Ilmil Ushul (hal. 71-72), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 25), dan Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16-17)]
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Ilmu adalah sayyidul ‘amal (penghulunya amal), sehingga tidak ada
satu amalan pun yang dilakukan tanpa didasari dengan ilmu. Sebagaimana
disebutkan dalam sebuah kaidah yang telah disepakati ummat,
اَلْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ
وَالْعَمَلِ .
“Ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat.”
[Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilmu, Bab Al-‘Ilmu
Qablal Qaul wal ‘Amal (I/119)]
Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa akan
menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, Islam mewajibkan
ummatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Dan hal ini
telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ .
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”
[Hadits shahih li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Majah (no. 224), dari
jalur Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Hadits ini diriwayatkan pula
oleh sekelompok para shahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin
‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudriy,
Al-Husain bin ‘Ali, dan Jabir radhiyallahu’anhum. Para ulama ahli hadits
telah menerangkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab-kitab mereka, seperti:
Imam As-Suyuthi dalam kitab Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala
Kulli Muslimin, Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Wahiyat (I/67-71),
Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/69-97),
dan Syaikh Al-Albani dalam kitab Takhrij Musykilah Al-Faqr (hal. 48-62)]
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang terhadap ilmu lebih besar
dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti pernah dikatakan oleh Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
الناس إلي العلم أحوج منهم إلى الطعام
والشراب لأنهم يحتاجون إليها في اليوم مرة أو مرتين وحاجتهم إلي العلم بعدد
اأنفاسهم
“Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada (mereka) membutuhkan makanan
dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sehari sekali atau dua
kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang nafasnya.” [Lihat Thabaqat
Al-Hanabilah (I/146), Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 91), dan Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 55-56)]
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mendakwahkan Islam kepada para Shahabat atas dasar ilmu. Sebagaimana Allah ‘Azza
wa Jalla telah berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى
اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ …
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’”
(Qs. Yusuf: 108)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama Allah atas dasar ilmu (بصيرة ),
keyakinan (يقين ), dalil syar’i (برهان شرعي ), dan dalil aqli (عقلي ). [Lihat Tafsir
Ibnu Katsir (IV/422)]
ILMU YANG WAJIB DICARI
Tidak setiap ilmu boleh untuk dicari dan dipelajari, sebab ada ilmu yang
dilarang untuk dipelajari. Hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang boleh untuk
dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati kedudukan yang
terpuji, seperti kisah Nabi Adam ‘alaihis salam yang diajarkan oleh
Allah Ta’ala tentang nama-nama segala sesuatu, kemudian Nabi Adam
memberitahukannya kepada para Malaikat dan para Malaikat pun berkata,
قَالُوا سُبْحَـنَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ
إِلاَّ مَاعَلَّمْتَنَآۖ إِنَكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Artinya: “Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang
Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (Qs. Al-Baqarah: 32)
Demikian juga disebutkan dalam kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan
Nabi Khidhir ‘alaihis salam, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala
berikut,
فَوَجَدَا عَبْـدًا مِّنْ
عِبَـادِنَـآاَتَيْنَـهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْـدِنَـا وَعَلَّمْنَـهُ مِنْ
لَّـدُنَّا عِلْمًا قَالَ لَهُ مُوسَى هَـلْ أَتَّبِعُـكَ عَلَى أَنْ
تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْـدًا
Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya.
‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?’” (Qs.
Al-Kahfi: 65-66)
Semua ayat di atas berbicara tentang ilmu yang bermanfaat.
Hanya saja, tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari ilmu yang
bermanfaat ini. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan tentang keadaan suatu
kaum yang diberikan ilmu, tetapi ilmu yang ada pada mereka tidak memberi
manfaat sama sekali bagi mereka. Padahal, ilmu yang mereka miliki adalah ilmu
yang bermanfaat, namun demikian mereka tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu
tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla Dzikruhu,
مَثَـلُ الَّذِيْنَ حُـمِّلُوا
التَّوْرَىةَ ثُـمَّ لَـمْ يَحْـمِلُوهَاكَمَـثَـلِ الْحِـمَارِ يَحْمِـلُ
أَسْفَـارَاۚ بِئْـسَ مَثَـلُ الْقَـوْمِ الَّذِيْنَ كَـذَّ بُوْا بِـئَا يَتِ
اللهِۚ وَاللهُ لاَ يَهْـدِى الْقَـوْمَ الظَّـلِمِيْنَ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat,
kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai
yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim.” (Qs. Al-Jumu’ah: 5)
Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi penyakit
dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke dalam
kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya. Selain
itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan. Ilmu
tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia
apalagi di akhirat. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَيَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ
وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى
الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ
لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا
يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ
خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (١٠٢)
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak
memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang
menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di
akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan
sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Yahya bin ‘Ammar rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu ada lima
(jenis), yaitu: (1) ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu ilmu
tauhid; (2) ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang mempelajari
tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits; (3) ilmu yang menjadi obat
(penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa. Ketika seseorang tertimpa sebuah
musibah maka ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah
tersebut, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. (4)
ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan (5)
ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang
semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (X/145-146), Siyar A’lamin
Nubala’ (XVII/482), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal.
28-29)]
Demikianlah perbedaan antara ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak
bermanfaat.
Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diturunkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam berupa keterangan dan petunjuk, dimana mempelajari ilmu ini
berhak mendapatkan pujian dan sanjungan. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13),
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 15), Bahjatun Nazhirin (II/461),
dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/281)]
Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu (yang bermanfaat)
adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan apa saja yang datang bukan dari salah seorang dikalangan mereka maka itu
bukanlah ilmu (yang bermanfaat).” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/500,
no. 1067 dan I/617, no. 1421), Fadhlu ‘Ilmi Salaf (hal. 42), Bahjatun
Nazhirin (II/461), Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/283), dan Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16 dan 22)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun pernah berkata, “Ilmu
adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu
yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu
yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam
urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung (matematika), ilmu
pertanian, dan ilmu perdagangan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (VI/388
dan XIII/136), Madarijus Salikin (II/488), dan Menuntut Ilmu Jalan
Menuju Surga (hal. 20-21)]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah pernah berkata, “Ilmu
adalah firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
perkataan para Shahabat.” [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (II/149) dan Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 22)]
Adapun ilmu yang bersifat keduniawian, seperti ilmu kedokteran, ilmu
pertanian, ilmu ekonomi, dan yang lainnya, ada yang sangat dibutuhkan ummat
Muslim. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk dalam kategori ilmu syar’i,
sebagaimana disebutkan dalam dalil yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Karena itu, hukum menuntut ilmu duniawi tergantung kepada tujuan dan
kebutuhannya, apabila tujuannya adalah untuk ketaatan kepada Allah maka hal itu
akan menjadi baik dan apabila dengan mempelajarinya dapat memenuhi kebutuhan
kaum muslimin maka hal itu dapat menjadi wajib. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal.
13-14)]
Dengan demikian, kita dapat membagi hukum menuntut ilmu menjadi tiga,
yaitu:
1. Fardhu ‘ain, dimana hukumnya adalah wajib untuk
diketahui oleh setiap individu. Ilmu yang tercakup dalam hukum ini adalah semua
ilmu syar’i yang yang menjadi pengetahuan dasar tentang agama, baik
permasalahan ushul (asas) seperti akidah, tauhid dan manhaj, sampai
permasalahan furu’ (cabang) seperti shalat, zakat, sedekah, haji, dan
semisalnya.
2. Fardhu kifayah, dimana hukumnya tidak wajib atas
setiap individu, sebab tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya. Kalaupun
diwajibkan atas setiap individu, tidak semua orang dapat melakukannya, bahkan
mungkin saja dapat menghambat jalan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya
sebagian orang saja yang diberi kemudahan oleh Allah untuk mempelajarinya
dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Apabila sebagian orang telah mengetahui dan mempelajarinya maka gugurlah
kewajiban lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun diantara mereka yang
mengetahui dan mempelajarinya, padahal mereka amat membutuhkan ilmu tersebut
maka mereka semua berdosa karenanya.
Contohnya adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu waris, ilmu kedokteran,
ilmu pertanian, ilmu fiqih, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya. [Lihat Tafsir
Al-Qurthubi (VIII/187), Thariq ilal ‘Ilmi As-Subulun Naji’ah li Thalabil
‘Ulumin Nafi’ah (hal. 18-19), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
(hal. 6-7 dan 17)]
3. Haram, dimana hukumnya terlarang untuk dicari dan dipelajari, karena akan membawa
pelakunya kepada kesesatan, kemaksiatan, bahkan kesyirikan kepada Allah Jalla
wa ‘Ala. Diantara ilmu yang termasuk dalam hukum ini adalah ilmu sihir.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَ يَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ
وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى
الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ
لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak
memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang
menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di
akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan
sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,
إِجْتَنِـبُوا السَّبْعَ
الْمُوبِقَـاتِ، قَالُوا: يَـا رَسُولَ اللهِ وَمَـاهُنَّ؟ قَـالَ: الشَّرْكُ
بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَـتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهَ إِلاَّ بِالْحَقِّ،
وَأَكْلُ الرِّبَـا، وَأَكْلُ مَـالِ الْيَتِيْـمِ، وَالتَّوَ لَّيْ يَوْمَ
الزَّحْفِ، وَقَـذْفُ الْمُحْصَنَـاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ .
Artinya: “Hindarilah (oleh kalian) tujuh perkara
yang membinasakan.’ Mereka bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau
bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah kecuali dengan cara yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak
yatim, lari dari medan perang, dan melempar tuduhan zina kepada wanita mukminah
yang terjaga kesucian dan kehormatannya dari perbuatan dosa dan


nikmatnya menuntut ilmu
ReplyDelete